Mengenal Diri Itu Tidak Instan


Anak itu saya wawancara kemarin. Dia salah satu mahasiswi pendaftar yang berminat menjadi panitia acara tahunan kantor saya.

Hal yang membuat saya tertarik menceritakannya adalah pertanyaan yang dia ajukan saat diwawancara. Agar pembaca lebih memahami situasinya, perkenankan saya untuk menyampaikan sedikit pengantar.

Wawancara yang saya lakukan standar saja. Pertama mahasiswa/mahasiswi yang diwawancara diverifikasi terlebih dulu status kemahasiswaannya (diminta menunjukkan KTM, dari program studi mana, dst). Kemudian mereka diminta memperkenalkan diri secara singkat. Bebas saja, perkenalannya mereka atur sendiri. Lalu mereka diberi pertanyaan standar: motivasinya untuk menjadi panitia, apakah dia sanggup berkomitmen menjadi panitia selama 3 hari penuh, lalu apakah jadwal kuliah mereka akan bentrok dengan kegiatan kantor saya.

Setelah pertanyaan-pertanyaan tadi, saya memberi mereka kesempatan untuk bertanya. “Apakah ada pertanyaan yang mau diajukan kepada kami (sebagai penyelenggaran kegiatan) atau pertanyaan lain terkait kegiatan, mungkin?”

Peserta wawancara lain biasanya bertanya tentang besaran fee yang akan mereka terima, tentang proses rekrutmen lanjutan (apakah ada?), tentang penempatan atau tugas yang akan mereka dapatkan. Yang anak satu ini tanyakan berbeda: “Menurut Mbak saya orangnya gimana?”

Alis saya naik sebelah.

Itu ibaratnya ya. Saya tidak secara harfiah menaikkan alis saya. Karena harus jaim, yang benar-benar saya lakukan adalah tersenyum tipis. 🙂

Sewaktu dia ditanya soal motivasinya untuk bergabung menjadi panitia, dia memang sempat mengungkapkan tentang ketertarikannya pada dunia HR dan rekrutmen. Dia juga bilang kalau dia ingin lebih mengenal diri sendiri.

Hal yang tidak saya kira adalah bahwa dia akan minta pendapat saya–orang yang baru ditemuinya dan baru pertama kali mengobrol lebih dari 5 menit dengan dia–tentang diri dia/kepribadian dia. Saya rasanya ingin tertawa tapi tidak dengan geli, melainkan dengan miris.

***

Salah Kaprah Mengenai ‘Orang HR’
Sambil memandang anak itu saya berpikir sejenak. Mungkin anak ini punya asumsi bahwa yang namanya pewawancara/recruiter itu semacam ‘orang pintar’ yang punya ilmu go-ib, dengan sekali melihat orang, langsung bisa mengetahui aspek kepribadian seseorang dari A sampai Z.

Yaah…, kalau memang pewawancara atau ‘orang HR’ beneran bisa seperti itu, dunia bisa kacau mungkin ya? Orang HR akan diburu dan bernilai tinggi karena ilmu go-ib yang dimilikinya. Bahkan bisa jadi setara senjata destruktif, macam di pelem-pelem action itu. Tapi kan nyatanya tidak demikian.

Akhirnya saya menjelaskan begini ke anak itu: “Wah ya saya enggak tahu ya, Mbak. Soalnya saya baru pertama kali ini ketemu dengan anda. Jadi ya ga mungkin bisa mengetahui anda itu orangnya gimana,” dengan nada sedikit geli.

Anak itu hanya termanggu.

Saya menambahkan lagi. “Yang saya tahu, ada nasihat untuk sesama muslim tentang ini. Kita bisa mengenal yang sebenarnya tentang seseorang itu melalui tiga kesempatan. Pertama saat kita dalam keadaan safar atau berperjalanan bersama orang itu. Kedua, saat kita bermalam bersama orang itu. Yang ketiga, ketika kita berurusan atau bermuamalah terkait duit/harta.”

“Implikasinya banyak. Misalnya yang terkait dengan uang atau harta. Saya akan ambil konteks organisasi kemahasiswaan ya. Kan ada jabatan bendahara. Ketika seseorang ditugasi sebagai bendahara, memegang uang yang bukan miliknya, bisa jadi dia memang amanah dan tidak korup. Namun ada kemungkinah bahwa pengelolaan atau manajemen keuangannya tidak rapi.”

Mendengar penjelasan itu, anak itu berujar sambil sedikit ngahuleng kalau dalam istilah Sundanya, “Saya malah baru tahu soal tiga hal tadi.”

Saya tersenyum saja mendengarnya.

Saya kemudian sedikit menjelaskan soal proses rekrutmen. “Lalu soal wawancara seperti yang saat ini sedang kita lakukan: ini hanyalah salah satu bagian dari proses rekrutmen. Proses rekrutmen sendiri panjang, wawancara itu berfungsi salah satunya untuk melengkapi data dan untuk memverifikasi tentang pelamar. Awalnya kan dari data pelamar yang diserahkan ke perusahaan, berupa CV dan dokumen berkas lamaran. Dari situ biasanya akan ada tes tertulis seperti psikotes dan tes akademis/tes teknis. Tes tertulis itu bertujuan untuk mengukur aspek kognitif dan psikologis pelamar.”

“Dari tes tertulis itu dapatlah data tentang peserta rekrutmen, baru sekian persen. Wawancara melengkapi data sekian persen lainnya. Lalu biasanya ada wawancara selanjutnya (wawancara user) yang akan menambah sekian persen data untuk mempertimbangkan, apakah pelamar tersebut cocok untuk menjadi pegawai perusahaan atau tidak.”

“Nah, soal buku-buku self-help psikologis yang bisa ditemui di toko buku, itu bisa dibilang isinya penjelasan instan/praktis tentang kepribadian kita. Yang namanya buku instan/praktis, ya sifatnya juga tidak mendalam. Paling kita bisa mengenal diri sebagian saja lewat buku tersebut, sekitar 5-10% dari keseluruhan diri kita seutuhnya.”

Saya memberikan penjelasan panjang lebar ke anak tadi karena saya menduga bahwa dia masih memandang bahwa proses mengenal diri dan orang lain itu instan dan dapat dilakukan dengan praktis. Ilmu dari buku-buku yang saya singgung tadi tak dipungkiri sangat membantu untuk lebih mengenal diri saya di awal masa pencarian jati diri (ceilee). Tapi apakah kemudian kita dapat mendefinisikan diri kita atau diri orang lain yang kompleks hanya dengan parameter-parameter tersebut? Kemudian, apakah kita bisa mengotakkan diri sendiri dan orang lain hanya dengan ukuran-ukuran tadi?

Saya kira enggak begitu ya. 🙂

***

Setelah saya memberi penjelasan, yang untuk itu saja lamanya mungkin sekitar 10 menit (dan wawancara dengan anak itu adalah wawancara yang cukup lama, jika dibanding dengan ketika saya mewawancara mahasiswa/mahasiswi lain yang hanya maksimal 7-8  menit sudah selesai), akhirnya saya memberikan pertanyaan penutup. Sesudah itu, saya ucapkan terima kasih dan saya bilang kalau saya akan mengabari hasil wawancaranya jika semua panitia sudah selesai diwawancara.

Wajah anak itu terlihat cukup kaget dan seperti down. Padahal saya tidak pasang ekspresi killer dan tidak menekan dia selama wawancara. Mungkin yang membuat dia shock adalah runtuhnya pandangan dia tentang ‘pengenalan diri instan dan praktis’ yang mungkin dia pegang selama ini. Mungkin juga karena hal lainnya. Saya tidak tahu. Saya juga tidak bertanya.

Namun anak itu cukup oke untuk saya loloskan menjadi panitia, jika anda ingin tahu. Jadi dia bisa dipastikan ada namanya dalam daftar pelamar panitia yang lolos seleksi. Sempat terbersit dalam pikiran saya tentang keadaan dia setelah wawancara dengan saya. Barangkali nanti, ketika dia mengetahui bahwa dia lolos seleksi, mungkin dia hatinya bisa terhibur dan kepercayaan dirinya bisa bangkit lagi.

Yah, dunia tidak seburuk atau seseram itu, tapi tidak sesederhana itu juga. 😉

Comments
One Response to “Mengenal Diri Itu Tidak Instan”
  1. Setuju sekali kak….tidak rumit namun juga tidak sederhana.. begitulah dunia :))

Leave a comment