Yuk Kita Bersepeda!


Awal Mula

Sebenarnya sudah lama saya berniat untuk memiliki sepeda.

Sewaktu tingkat satu, saya sudah membayangkan bagaimana seandainya saya bersepeda ke kampus. Tempat kos saya terletak di daerah Cikaso-PPI jalan Katamso. Kalau mau ke kampus, berarti saya akan melewati rute Katamso-Supratman-Pusdai-Gasibu-Dago-jalan Ganesa. Saya sudah membayangkan kostum apa yang akan saya kenakan sehari-hari seandainya saya bersepeda ke kampus alih-alih naik angkot.

Tapi seorang sahabat saya agak nyinyir dengan ide saya-mengenakan-celana-panjang-ke-kampus. Apa pasal?

Begini. Saya adalah perempuan muda berjilbab rapi. Kostum standarnya adalah atasan tunik (semacam blus dengan model seperti baju kurung), jilbab menutupi lengan yang menjuntai hingga siku, dan mengenakan rok. Bila saya mengenakan celana panjang, berarti saya sedang melakukan kegiatan olahraga. Yang membuat sahabat saya keberatan adalah bila saya mengenakan celana panjang sebagai kostum harian.

Yaaah, begitulah. Saya mengerti maksud sahabat saya. Bila setiap hari saya mengenakan celana panjang, citra ‘muslimah berkerudung panjang’ yang melekat pada saya jadi jomplang.

Tapi intinya niat saya itu belum terlaksana. Sampai bulan Juni 2008 kemarin. Tepatnya tanggal 5 Juni.

***

And The Dots Connected…

Seorang tetangga tempat kos saya adalah pemilik usaha perbaikan alat elektronik. Montir yang bekerja di sana sedang butuh uang katanya. Dia berniat untuk melepas sepedanya.

Pada saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja saya kembali bersemangat untuk memiliki sebuah sepeda. Sebelum saya tahu montir itu berniat menjual sepedanya, saya memang sedang suntuk karena tidak punya kendaraan pribadi.

Kenapa? Saya lumayan sering pergi kesana kemari di sekitar daerah tempat kos saya. Ya mengunjungi teman yang kosnya berjarak 300 meter, ya pergi ke pasar, ya pergi ke warnet, pergi ke tempat laundry di pinggir jalan Katamso, dan kadang ke Cikutra (dekat RS Santo Yusuf) untuk berbelanja produk K-Link. Intinya, setelah sekian tahun, saya bosan berjalan kaki. Lagipula, dengan aktivitas saya yang makin padat, saya harus lebih efisien dalam menggunakan waktu.

Entah kenapa dan bagaimana, suatu sore di awal Juni itu tercetus ide di kepala saya untuk meminjam sepeda milik Bapak Kos saya. Padahal sudah hampir lima tahun saya tinggal di situ, dan saya juga tahu bahwa Bapak Kos saya memiliki sepeda, tapi baru terpikir untuk meminjamnya sore itu. Sejak itu, tekad saya untuk memiliki sepeda menjadi bulat.

Tak lama kemudian, saya mendengar kalau ada montir yang mau menjual sepedanya. Tidak sampai tiga hari sejak saya bilang pada Bapak Kos saya kalau saya ingin memiliki sepeda. Lalu, tepat dua hari setelah saya mendapat info, sepeda itu jadi milik saya.

Ini dia sepeda yang bikin Rifu penasaran, hehe...

Ini dia sepeda yang bikin Rifu penasaran, hehe...

Sepedanya benar-benar bagus! Meski bekas, rangkanya kuat. Catnya masih mulus. Tinggi sadelnya pas lagi untuk saya, sehingga tidak perlu saya utak-atik lagi. Saya merasa kalau sepeda itu memang diperuntukkan bagi saya.

Tapi rem depannya agak longgar. Itu tidak terlalu mengganggu. Yang ini lumayan: ban depannya bocor. Saya baru tahu setelah sekali memompa dan tak lama kemudian ban depan itu kempes lagi. Setelah hampir tiga minggu saya istirahatkan, dengan kata lain sepeda itu saya simpan saja, tanggal 23 Juli saya mulai bersepeda lagi. Tentunya saya mesti menambalkan ban depannya dulu. Setelah oke, saya menggunakannya kembali.

Helm sepeda saya. Sengaja milih yang warna item, biar cocok dengan warna baju apapun.

Helm sepeda saya. Sengaja milih yang warna item, biar cocok dengan warna baju apapun.

Hari itu juga, saya mengetahui kalau bonus yang saya terima dari bisnis K-Link saya naik. Di kepala saya langsung terbayang berbagai rencana belanja. Namun dengan semangat bersepeda, akhirnya ‘helm sepeda’ dan ‘kunci pengaman sepeda’ yang saya dahulukan.

Liat kuncinya... Cocok kan dengan warna sepedanya?

Liat kuncinya... Cocok kan dengan warna sepedanya?

Saya berbelanja di toko sepeda di Kosambi. Helm yang saya beli harganya 125 ribu rupiah. Kemudian saya membeli kunci pengaman yang warnanya mirip warna sepeda saya: hijau elektrik! Harganya 30 ribu. Oleh pemilik toko saya diberi diskon 10 ribu dari total belanja. Alhamdulillah… lumayan. Dalam hati saya berjanji untuk kembali ke toko itu bila saya memerlukan beberapa aksesoris sepeda. Dan kayaknya bakal ke sana lagi dalam waktu dekat.

Senangnya!

Karena sudah memiliki helm sepeda, saya menjadi lebih berani untuk bersepeda di jalan raya. Namun Rifu juga berperan besar dalam memotivasi saya untuk berani bersepeda di jalan raya. Lihat saja pengalamannya di tulisan Bike to Work Train. Saya jadi pengen…

***

Asyiknya Bersepeda!

Ini dia, foto-foto yang saya ambil ketika bersepeda bareng Teh Rina pada hari Minggu 27 Juli.

Kalo dak pagi-pagi gini, para pedagang gak akan dapet tempat dagang deh...

Kalo gak pagi-pagi gini, para pedagang gak akan dapet tempat dagang deh...

Kami berangkat dari rumah jam 5.15. Jalanan sudah ramai rupanya. Sekitar jam 5.30 kami sampai Gasibu dan melewati pedagang-pedagang yang sedang bersiap untuk ‘buka toko’.

Bayangan Gedung Sate di belakang pedagang.

Bayangan Gedung Sate di belakang pedagang.

Saya mencoba mengabadikan Gedung Sate yang membayang di belakang para pedagang. Tapi hasil fotonya kurang memuaskan.
Mungkin karena banyak mobil yang lewat, mungkin karena tangan saya gak stabil, hasil gambarnya terlihat bergoyang begitu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju perempatan Dago-Sulanjana. Ketika saya berfoto di sana, saya sempat berpikir, “Mungkin orang akan sulit membedakan suasananya dengan saat Magrib kalau saja perempatan ini tidak sepi dari mobil.”
Tapi, apa peduli saya. Yang saya pedulikan adalah betapa leganya jalan raya dan sejuknya udara pagi! Harus sering-sering nih hari Minggunya. Maksudnya, hari “Minggu” yang sepi atau bebas kendaraan bermotor. Biarlah sepeda, sepatu roda, skateboard, dan pejalan kaki merajai jalanan! Hehe…
Magrib atau subuh?

Magrib atau subuh?

Setelah itu kami meneruskan perjalanan ke arah Tamansari. Lorong pepohonan di sepanjang jalan Sulanjana benar-benar indah di pagi hari itu. Sayang, saya tidak sempat mengabadikannya. Lalu kami berhenti di seberang Annex-Pasupati.
Sampe Annex...

Sampai di gedung Annex (Rektorat ITB) ...

...trus Teh Rina mejeng dulu di depan Pasupati.

...dan Teh Rina mejeng dulu di depan Pasupati.

Setelah bersantai sejenak, kami meneruskan perjalanan ke Balubur, dilanjutkan ke ITB.

Nyampe (pasar) Balubur yang belum buka...

Tiba di (pasar) Balubur yang belum buka...

... trus berfoto lagi di depan Aula Timur-SR.

... trus berfoto lagi di depan Aula Timur-SR.

Sayanya mana? Yaaa, yang moto. Hehe… Dan tak lama kemudian kami mampir sejenak di dekat Asrama Putri Salman.

Kami mengobrol sebentar dengan Mbak Rini (teman kami di AsTri).  ‘Pamer’ sepeda, ceritanya. Kemudian kami kembali ke Gasibu. Kali ini untuk tujuan berbelanja! Sayang, baterai kamera Teh Rina habis di AsTri, jadinya pengalaman kami belanja jam 6 pagi di Gasibu tidak bisa diabadikan.

Begitulah kegiatan saya dan Teh Rina belakangan ini. Setiap kali ada kesempatan hari libur, kami segera mengambil sepeda kami dan memacunya. Seperti tanggal 30 kemarin, waktu tanggal merah Isra’ Mi’raj. Kami bersepeda jam sebelas siang!

Yang punya ide adalah teh Rina. Waktu itu saya juga memang ada perlu ke Salman. Jadilah kami bersepeda siang-siang. Tapi udara cerah dan matahari bersinar ramah, tidak menyengat. Kami juga melewati jalur-jalur yang teduh. Namun untuk sampai ke Salman, kami tidak bisa menghindari perempatan Dago. Kemudian kami melewati Sulanjana lagi seperti pada hari Minggu tanggal 27.

Tidak lama kok di Salman. Jam 12 kami sudah sampai daerah jalan Katamso lagi, tempat kami bermukim. Cepat juga kok kalo mau ke Salman dengan sepeda. Enak lagi bersepedanya, karena lagi libur (di tengah minggu).
Saangat menyenangkan!
***
Cek situs keren tentang sepeda ini: Urban Velo .
Comments
8 Responses to “Yuk Kita Bersepeda!”
  1. arief says:

    kalo gitu teh, kapan mau saya ajak nanjak ke lembang? 😛

    Tapi hasil fotonya kurang memuaskan. Mungkin karena banyak mobil yang lewat, mungkin karena tangan saya gak stabil, jadinya goyang gitu kameranya.

    kamera saku yang settingannya otomatis ya teh? maklum lah, kalo pencahayaan kurang pasti setting speed bukaannya jadi lama, sehingga jadi lebih peka sama gerakan tangan, meski sebenarnya dengan teknik tertentu hal ini bisa membuat suatu foto dari biasa jadi bagus :mrgreen:

  2. sherlanova says:

    Enggak Fu, pake yang “night vision” gitu (gak inget apa istilahnya) 😀

  3. estisadiyah says:

    Assalamu’alaikum..Ales….daku meninggalkan jejak di sini, hehehe…c u 😉

  4. Agung says:

    Wah, sudah jadi biker duluan, ternyata hehe.. Paling jauh kemana nih?

    • sherlanova says:

      Sampe dago, di jalan yang mau ke hutan juanda, hehe…
      Soalnya bukan sepeda gunung, jadi buat
      nanjak gak kuat.

  5. ikhwan says:

    lg iseng..ga sengaja kbaca deh…

    klo dsini drku pke speda balap les…wus wus wus…mantabbb….rata2 27 km/jam….ke borobudur,prambanan,jogja?yuk yak yuuukk…

  6. hana says:

    Pake sepeda mmg asyik, tp celana panjag buat suka nyangkut di rantai, mmg ukhti ga? Kpdahal pake celana ga suka jg krn biasanya gamis

Leave a comment