“Baru ‘ingin’ masuk syurga; baru ingin…”


Jadi, ceritanya, Ramadhan 1430H kemarin saya mengambil banyak waktu untuk merenung. Dalam perjalanan saya ke luar Bandung, mengurus pekerjaan (sekalian jalan-jalan :D), saya mendapat kesempatan untuk memeriksa kembali diri saya, batin saya, hati saya, perjalanan hidup saya, dan juga harapan-harapan saya.

Tepat di satu momen di sepuluh hari pertama puasa, saat saya sedang menikmati panasnya kota Pringsewu, ditambah keringnya tenggorokan karena belum minum sejak subuh, belum lagi lemasnya badan karena udara menyengat, tercetus sebuah pertanyaan dalam benak saya:

Buat apa saya capek-capek berpuasa?

Bukan. Saya bukannya tidak mengerti bahwa puasa adalah kewajiban ibadah seorang muslim yang khusus hanya untuk Tuhannya. Bukan. Saya juga bukannya sedang berpikir untuk membatalkan puasa.

Saya hanya sedang menggali-gali makna dari semua ibadah yang telah saya lakukan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan pertanyaan itu.

Kesimpulan batin saya selanjutnya mungkin malah lebih ‘mengerikan’:

Ternyata aku belum mau masuk surga… Baru sekedar (punya) keinginan aja.

Kesimpulan itu tidak datang tiba-tiba. Awalnya saya sedang berpikir tentang ibadah haji. Entah kenapa, sampai umur segini, saya belum juga merasakan panggilan hati untuk berhaji ke Baitullah. Rencana sih sudah dicanangkan. Saya menargetkan bahwa sebelum umur tiga puluh tahun, saya sudah harus pergi haji, kalau bisa bareng suami (suaminya juga belum ada sekarang :p ) dan keluarga.

Lebih cepat lebih baik, pikir saya.

Dana dan persiapan lainnya sudah saya usahakan dari sekarang. Kalau di rukun Islam bunyinya ‘naik haji kalau mampu’, maka impian saya adalah, “Saya akan memampukan diri supaya saya bisa naik haji; kalau bisa membantu sebanyak-banyaknya muslim lain untuk naik haji.”

Tapi ya itu… Naik haji masih sekedar ‘kewajiban’ bagi saya.

Kalau dari cerita-cerita orang-orang soleh kita sering mendengar indahnya panggilan naik haji itu, maka ketika saya mencoba mencari secercah-kerinduan-untuk-pergi-ke-Mekah itu, saya belum menemukannya; belum merasakan apa-apa. Kosong.

Dan bila semua rukun ibadah sudah terlaksana, maka apa target orang-orang soleh berikutnya? Ya, masuk syurga.

Di titik itulah saya menyadari, bahwa saya memang belum mau masuk syurga.

Saya baru ‘ingin’ masuk syurga, tapi belum benar-benar meniatkan dan berupaya untuk masuk syurga.

Perhatikan baik-baik. Ada perbedaan mendasar antara ‘ingin’ dengan benar-benar mengupayakan sesuatu. Misalnya begini: Saya ingin apel sekarang. Dan itulah keinginan saya. Apel itu enak, kalau dimakan rasanya segar, renyah, dan manis. Dan saya bisa mengemukakan segala fakta dan argumen tentang mengapa saya harus makan apel, betapa luar biasa manfaat enzimnya ke pencernaan, bahwa “an apple a day, will keep the doctor away” ,dan tentang rasa nikmat yang saya rasakan di lidah bila makan apel.

Tapi bila saya baru ingin, sekedar ingin, namun belum terdorong atau mau berupaya untuk mendapatkan apel, apakah saya bisa menikmati (baca: makan) apel?

Bisa. Kalau ada yang memberi. Dan saya berharap Allah Maha Pemilik Rahmat mau memberikannya.

Itulah yang saya maksud. Saya sih ingin bisa masuk syurga, tapi saya belum terdorong, apalagi mengharuskan diri untuk masuk syurga. Padahal, di saat yang sama, saya tidak mau masuk neraka. Lagipula siapa sih, dengan akal dan nuraninya sehat, yang mau ke neraka?

Bagi saya, konsep tentang syurga yang saya baca dari Al Quran itu adalah konsep yang sangat abstrak. Jauh. Belum tergapai. Syurga adalah sebuah konsep yang berada di luar jangkauan batin saya (saya tidak akan mengatakan ‘jangkauan nalar’, karena syurga sendiri berada di alam gaib yang tentunya tidak bisa terindera oleh kita). Dan saya masih terus berusaha untuk memahaminya. Dan terus terang, belum ada penjelasan yang menyentuh hati saya tentang syurga.

Mungkin memang saya sendiri yang harus menemukannya.

Begitu saya menyadari kondisi saya ini, sesaat… hati saya terasa hampa.

Namun sesaat kemudian, saya merasa lega. Lega karena akhirnya saya tahu dimana posisi saya. Selama ini, keengganan saya terhadap ide naik haji dan masuk syurga itu melayang-layang di alam bawah sadar. Jadi, ketika akhirnya pikiran-sadar saya menyadarinya, saya menjadikannya sebagai titik tolak untuk mulai mengambil langkah serius supaya saya ‘mau’ naik haji dan ‘mau’ masuk syurga.

Minimal saya sadar dulu deh, bahwa saya memang belum bersungguh-sungguh mau masuk syurga.

Dan, ya Allah, yang Maha Mengetahui kondisi hambaMu ini, aku berdoa agar kau selalu melapangkan hatiku untuk selalu merindukanMu… Amin.

Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah yang usahanya dibalas dengan baik.
[Q.S Al Israa (17): 19]

Indah bukan?

Bahkan apa yang saya resahkan selama ini sudah ada jawabannya dalam Al Quran.

Sungguh Allah Maha Besar, Maha Mengetahui, dan Maha Sempurna.

Comments
One Response to ““Baru ‘ingin’ masuk syurga; baru ingin…””
  1. jendalsepit says:

    imho,
    coba baca buku2-nya Ibnul Jauzi’ (Al Wafa’) & Ibnul Qayyim Al Jauzi’ah..

    “… dan kini jiwa ini merindukan Syurga” (Umar ibn Abdul ‘Aziz)

Leave a reply to jendalsepit Cancel reply