“Teko hanya mengeluarkan isi teko…”


Gandeng sia, nj*ng!” *

Beribu maaf saya sampaikan. Kalimat di atas saya kutip apa adanya. Bila ada beberapa dari anda yang terkejut dan tersentak hatinya karena membaca kalimat tadi, maka percayalah, saya lebih terkejut lagi.

Itu adalah status seseorang yang ada di daftar teman saya, yang terbaca tepat ketika saya membuka halaman FB semalam.

Sebenarnya saya tidak kenal dengannya. Namun setelah saya telusuri, saya baru ingat kenapa saya menyetujuinya sebagai teman FB: karena saya kira dia teman adik saya (dia sedang kuliah di Bandung sekarang).

Tak lama, dengan pertimbangan-atas-dasar-keterkejutan, saya memutuskan untuk menghapusnya dari daftar teman FB.

Ekstrim? Tidak. Menurut saya biasa saja. Tindakan saya bukanlah tindakan yang reaktif, meskipun saya memutuskan melakukannya segera, dalam waktu singkat.

Maksudnya, tidakkah pernah terpikir olehnya bahwa apa yang dipasangnya sebagai status bisa mengganggu orang lain?

Mungkin dia sedang merasa terganggu oleh keberisikan orang lain. Begitu tergganggunya, sehingga dia menjadi sangat marah, dan akhirnya mengisi status FB-nya dengan makian kasar. Saa…ngat kasar, malah.

Tapi apakah itu membuatnya merasa berhak memasang kemarahannya di status FB, yang kemudian akan muncul di halaman orang lain, dan jelas-jelas bisa dibaca oleh orang banyak?

Hhh! Males deh punya teman FB yang memaki-maki di statusnya. Bikin sebel. Mengotori halaman orang saja.

***

Saya memandang makian dan kata-kata kasar seperti memandang kotoran.

Ya, setiap orang akan ‘menghasilkan’ kotoran. Jadi saya sangat maklum bila semua orang, termasuk saya, pasti pernah merasakan impuls untuk mengumpat. Ya, setiap orang juga perlu untuk ‘membuangnya’. Namun, selayaknya manusia yang beradab, di mana dan bagaimana kita membuangnya, perlu dipertimbangkan dengan baik juga toh, meskipun kita sedang ‘kebelet’?

Oke, kembali ke masalah status FB tadi.

Mungkin yang punya status tadi tidak punya masalah dengan makian kasar. Mungkin itu adalah bahasa sehari-harinya. Tapi apakah orang lain harus terbiasa juga? Apakah orang lain harus berlapang-hati menerima limpahan darinya?

Kecuali dia memang terbiasa kencing sembarangan kapan saja, di mana saja. Termasuk di halaman orang.

Itu sih lain soal. Itu sih sudah urusan psikolog.

Wallahua’lam bishowwab…

Memang benar kata-kata teman saya: teko hanya mengeluarkan isi teko.

Bila baik isinya, maka baik pula yang keluar darinya. Isi susu, keluar juga susu. Bila buruk isinya, maka buruk pula yang keluar darinya. Soal contoh yang buruknya, silahkan dipikirkan sendiri lah ya?

(Baca juga artikel Pak Nukman Luthfie ini. Inspiring…)

*Berisik kamu, anj%%ng!

Comments
3 Responses to ““Teko hanya mengeluarkan isi teko…””
  1. irawan says:

    itulah salah satu sebab knp pd akhirnya saya berhenti dr FB.
    salam bloging..
    ^^

Leave a comment